Alhamdulillah saya mendapat kesempatan sebagai WHO short term consulant di Kingdom of Bhutan tahun 1997. Saya sampai sekarang sering nostalgia dengan negara kerajaan ini. Betapa tidak, saya mendapat kesempatan menginjakkan kaki saya di salah satu daerah tertinggi di dunia! Dalam tulisan ini saya tidak akan menyinggung soal kesehatan dan demografi penduduk (tentunya laporan saya ada di WHO SEARO). Yang ingin saya share dengan pembaca adalah dari segi keindahan alam dengan segala keunikannya.
1. Saya mulai dari Paro Internasioanl air port.
Begitu approaching Paro airport, terasa betul jantung saya diuji. Waktu menurun dari ketinggian top-nya, saya merasa tiba2 turun seperti mau terjatuh dilereng gunung. Begitu juga waktu takeoff, saya merasa seperti menabrak gungung yang semakin tinggi sampai ke topnya, kemudian menurun lagi.
Simak video di bawah ini (saya unduh dari youtube)
2. Thimphu ibu kota the Kingdom of Bhutan.
Kota ini sebagai post saya selama di sana.
Hawanya dingin (berkisar - 2 sampai 10 derajad) malam dan siang. Kalau diluar terasa sangat dingin, harus segera masuk hotel (di hotel ada heater). Saya tidak menemukan makanan muslim, karena mereka pada umumnya beragama Budha. Ya, saya harus makan nasi ikan, sayur dan buah-buahan saja.
Di bawah ini adalah gambar Thymphu City.
3. Di desa atau daerah yang saya kunjungi (Puskesmas).
Saya harus menggunakan pakain berlapis-lapis yg sesuai dengan udara dingin.
Penulis (dr. Yamin Hasibuan), yg paling kiri
Dr. Andy Louhenapessy: No 3 dari kiri
Dr. Sandup: Yg paling kanan
Kami tinggal dan nginap di guesthouse. Di sini baru saya merasakan cobaan fisik berat. Nafas yang keluar dari hidung seperti asap es. Di guest house tidak ada heater. Pada malam hari kami berkumpul di tempat pemanasan (tungku besar) namanya buhari (maaf kalau ejaannya salah). Kami duduk mengelilingi buhari, selama berada di sana kami sering kali diberi minum susu yang panas. Etika minum di sana, begitu diberi minuman harus segera diminum didepan pelayan, kalau tidak minuman cepat menjadi es! Jadi terbalik, kalau di Indonesia disajikan minuman kemudian belum mau meminum sebelum dipersilahkan tuan rumah (etika ini saya amati waktu saya kuliah di Yogyakarta). Sebaliknya di Buthan, kalau tidak cepat minum di depan pelayan itu namanya kurang sopan!
Setelah pemanasan mengelilingi buhari, kembali ke kamar masing-masing untuk tidur. Di sini yang paling parah...Saya tidur dengan selimut tebal, tetapi tetap saja terasa dingin sekali. Kalau kepala saya tidak diselimuti, terasa rambut seperti kena air es. Kalau kepala masuk dalam selimut, nafas terasa sesak! Teman-teman lokal sudah terbiasa, mereka minim alkohol, wisky misalnya. Lha saya?
Mengunjungi Primary Health Center (Puskesmas-puskesas).
Puskesmas lokasinya berjauhan tersebar diperbukitan. Di tengah perjalanan, petugas lokal omomg dengan saya, "we are going to that Health Center", sambil menunjuk desa. Saya tanya, how long it takes time to be there? Di jawab, about 6 hours. Bisa bayangkan, Puskesmas yang begitu tampak dekat, harus makan waktu 6 jam dengan mobil. Kami tempuh bukit demi bukit dengan jalan yang berkelok- kelok sebantar di bawah (pada umunya ada sungai), kemudian menaik lagi......Sepanjang jalan yang kami lalui saya lihat ada flora dan fauna yg khusus didaerah tinggi, speri sapi yang berbulu, pepohonan yang miskin daun.
Bersama staf Puskewsmas
Bersama Dokter Puskesmas
Allah Maha Pemurah lagi Maha Penyayang yang memberikan saya kesempatan.
Syukur Alhamdulillah.
Masya Allah betapa indahnya ciptaanMu Ya Allah..