Saturday, January 18, 2020

Kusta Di Indonesia, Zaman Penjajahan Belanda

Tulisan ini merupakan intisari dari artikel "Pendekatan Masalah Kusta di Masa Lalu di Indonesia" oleh Dr B. Zuiderhoek. [Dr B. Zuderhoek adalah seorang konsultan WHO yang lama membantu progran kusta di Indonesia, merupakan pengajar tetap di PLKN (Pusat Latihan Kusta Nasional) di Makassar. Penulis pernah dapat pelajaran dari beliau.].
  
Pada zaman Belanda, penanganan kesehatan dibawah pimpinan dokter-dokter Belanda yang ditugaskan nutuk itu. Diantara dokter-dokter itu ada dua dokter yang melaporkan khusus mengenai penyakit kusta:  Bontinus dan Ten Rhijne.

BONTINUS

Kusta dilaporkan untuk pertama kalinya oleh Jacobus Bontinus dalam bukunya “Medicina Indorum” (Medicine di the Indies) pada tahun 1642. Bontinus mengambil gelar dokter di Leiden. Pada tahun 1627. Pada usia 35 ia berangkat ke Batavia (Jakarta), di mana ia meninggal 4 tahun kemudian. Sungguh luar biasa bahwa dalam keadaan lingkungan serba tertinggal, ia berani ambil resiko yang sangat tinggi terutama bila ia sendiri yang sakit (tidak ada dokter lain untuk konsultasi), kematian  dalam keluarganya, namun ia masih sempat menulis tentang semua penyakit yang ia temukan dan keadaan alam Indonesia termasuk Budaya Jawa.Tulisan-tulisannya diterbitkan di Leiden Belanda  pada tahun 1642, sebelas tahun setelah kematiannya.

TEN RHIJNE

Pada tahun 1687, ia menulis buku tentang kusta, “Verhandelingen van de Asiatise Melaattsheid” ada diperpustaan Amsterdam.

Menurut tulisannya, penampungan kusta pertama ada di Angke terletak dipinggiran Batavia (Jakarta). [Indonesia luas, mungkin ada di daerah lain, tapi belum terjamah].
Pada waktu itu kusta dianggap sangat menular. Penyebaran kusta meningkat disebabkan masuknya pendatang terutama dari Ceylon (Sri Lanka), lacca (Malaysia), corromandel (pantai selatan-timur India) dan Malabar (Selatan-barat India), jajahan Portugis antara 1640 dan 1662.

Tawanan perang, bersama-sama dengan keluarga dan budak-budak mereka dipindahkan ke Batavia. Imigran Cina juga berbondong-bondong ke kota Jakarta. Untuk kepentingan keamanan, semua ditampung di dalam tembok di kota. Semakin banyak orang kusta yang terdeteksi di antara penduduk setempat. Pada saat itu penduduk Batavia berjumlah 21.000, termasuk garnisun 1000.

Ten Rhijne  ditunjuk dan dipercaya untuk mengurusi orang-orang kusta tersebut. Pada 1681 orang-orang kusta dpindah ke sebuah pulau kecil bernama Purmerend di Teluk Batavia. Tempat yang lama di Batavia itu terlalu dekat dengan kota, air dapat terkontaminasi oleh penderita kusta.

Lima dokter ditunjuk untuk mencari penderita kusta dan dilakukan isolasi, semua didaftar. Dengan cara ini Purmerend mendapat 165 dalam penampungan itu. Dalam waktu yang sama, nara pidana penderita cacat, penderita syphilis dan pengmis dikumpulkan dan dimasuk ke dalam penampungan kusta.

Ten Rhijne adalah seorang dokter yang sangat baik diantara semua dokter dan juga seorang pengamat yang teliti. Namun, ia benar-benar dalam gelap mengenai penyebab sebenarnya dari penyakit ini. Apa faktor peneyebababna tidak diketahui. Perkiraan faktor keturunan tidak jelas, faktor makanan, minum air yang terkontaminasi tidak diketahui, apakah ada racun tertentu, semua tidak dketahui, dan tidak dapat menjelaskan. Maka dinasehatkan jangan tidur di luar pada malam hari. Hal ini bisa menghambat penguapan angin ganas dalam tubuh melalui keringat pori-pori.

Terapi yang dilakukan pada waktu itu.  

Ada berbagai pilihan terapi:
  • Merangsang sekresi Keringat, melalui mandi air panas dan makan obat Bubuk Ular. 
  • Merangsang skresi Urine, minum Bubuk Kecoak. 
  • Empedu babi direkomendasikan sebagai pencahar.
  • Lintah yang digunakan untuk mengisap racun berbahaya dari ketiak dan selangkangan. 
  • Kebiri dapat membuat tubuh yang kuat dan besemangat.
  • Daging kucing hitam dan landak, bubuk tanduk badak juga dianjurkan. 
  • Sekresi air liur dapat dirangsang dengan menghirup asap dari lilin yang mengandung merkuri (quijlkkaarsjens). 
  • Asupan kadal kecil, atau cicaks, memiliki efek regeneratif.
Antara abad 17 - 18 jumlah penghuni dari rumah sakit lepra di Purnerend menurun secara bertahap. Pada 1795 hanya 11 penderita kusta yang tersisa. Peningkatan kasus kusta nampaknya sudah lewat. 

Masuknya orang-orang dari wilayah luar juga nampaknya sudah berakhir seperti dari Ceylon, Malaka dan daerah pesisir India. Batavia sebagai pusat perdagangan semakin kurang menarik, karena wilayah tidak sehat, karena malaria, populasinya pun turun menjadi 15.000. Purmerend ditutup. Namun, masalah kusta belum teratasi. Dalam dekade berikutnya ada pembentukan leprosaria baru di tempat lain dan di luar Jawa.

Di pertengahan abad ke-19 terjadi kebangkitan minat dalam kedokteran tropis sebagai bagian dari kemajuan ilmu kedokteran secara umum. Pada tahun 1850 Society for Medical Sciences didirikan, mulai menerbitkan jurnal medis, 6 Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlands Indien, Jurnal ini  memuat abstrak semua publikasi internasional yang penting termasuk kusta. Dokter-dokter menghadiri pertemuan internasional penting. Sejak itu kebijakan pemerintah mengenai kusta tidak bisa lagi diisolasi, sesuai dengan kebijakan internasional.

Pada waktu itu ada 150 dokter yang dipekerjakan oleh pemerintah, sebagian besar petugas medis tentara, di antaranya 60% adalah asal Belanda. Sisanya adalah Jerman, Prancis, Belgia, Hungaria dan Swiss. Pekerjaan itu sulit, 53% meninggal dalam melaksanakan  tugas karena sakit dan konfrontasi militer.

Ada suatu penampungan kusta di Pelantoengan, dokter aktif bekerja di sini. Mereka mempublikasikan pengamatan mereka dan hasil uji coba terapi mereka secara teratur. 

Pelantoengan terletak di pegunungan 60 km sebelah Barat dari Semarang, Jawa Tengah, dibuka pada tahun 1844 dan dimaksudkan untuk tempat penyembuhan militer yang sakit. Iklim yang menguntungkan dan banyak sumber air panas tampaknya memiliki kekuatan kuratif. Dengan alasan ini maka tempat ini juga dipilih untuk perawatan kusta, mereka ditempatkan secara terpisah dengan tempat militer. Mereka bersama-sama berendam dalam bak air panas, kemudian diselimuti untuk merangsang berkeringat untuk melepaskan zat beracun dari tubuh. Namun, hasilnya adalah nihil.
Banyak jenis obat-obatan yang direkomandasikan secara internasional telah dicoba, akan tetapi tidak berhasil. Oleh karena itu minyak chaulmogra dipakai satu-satunya pengobatan kusta jangka panjang pada waktu itu.

[Penulis sudah pernah berkunjung ke Perkampungan Kusta Plantoengan di Jawa Tengah (2003). Di bawah ini adalah beberapa foto peninggalan zaman Belanda] 



Bak air panas alami untuk orang 
terkena kusta mandi bersama-sama 
di Perkampunga Kusta Plantoengan.



Ada beberapa rumah bertulisan angka 1870.
Rumah mungkin sudah direnovasi, 
akan tetapi angka 1870 
tetap dipertahankan



Rombongan yang berkunjung 2003
Penulis adalah ke 2 dari kanan



Desa Plantoengan, pemandangan indah, hawa sejuk

Pada periode ini, secara internasional menguatkan pendapat bahwa kusta adalah penyakit keturunan dan tidak menular. Akibatnya Pemerintah meninggalkan pendapat isolasi penderita kusta pada tahun 1865.

Pada tahun 1873, Hansen menemukan basil kusta. Basil sudah dikenal, tetapi  tidak dapat ditanam /kembangbiakkan dan tidak dapat menularkan hewan percobaan. Maka ada anggapan lagi kuman yang ditemukan itu bukan merupakan kuman penyebab.

Namun, pada tahun 1879 di First International Kusta Congress di Berlin, konsepsi Hansen telah diterima dan kusta dinyatakan penyakit menular. Sebuah sistem isolasi yang manusiawi direkomendasikan: jika mungkin, masuk sukarela ditempakatkan di komutas pertanian. Jika ada pengawasan yang cukup, maka “sistem Norwegia”, sistem isolasi rumah, bisa dianggap lebih berhasil dan lebih murah.

Namun pemerintah lebih suka mengikuti kebijakan yang dilakukan di negara-negara di Asia: pendaftaran wajib dan isolasi koloni pertanian. Pada tahun 1907 diputuskan bahwa kusta adalah penyakit menular.

Pada tahun 1911 yang semula semua fasilitas medis berada di tangan Militer Pelayanan Medis, kemudian dipisah dengan pelayanan Medis Sipil, dan didirikanlah Pelayanan Medis Sipil. Akibatnya pemerintah sekarang terlibat langsung dan bertanggunjawab dalam masalah kusta. Hanya ada 20 leprosaria pada tahun 1911, tetapi adanya kebijakan pencarian kasus, jumlah kasus cepat meningkat.

Tidak semua orang senang dengan pembentukan koloni karena biaya mahal dan kurang manusiawi. Selain itu, pengalaman menunjukkan bahwa isolasi tidak mencegah penyebaran kusta. Penderita kusta banyak yang berusaha menyembunyikan diri. Itu sebabnya Kayser dan Kiewiet de Jonge mendirikan sebuah asosiasi yang memulai pengobatan rumah tangga di Batavia pada tahun 1906. Setelah itu sistem ini diperluas ke Surabaya, Semarang dan Ambon. Meskipun hasilnya menggembirakan, sistem ini gagal ditentang oleh Pemerintah.

Pada tahun 1926, Dr. Sitanala setelah kembali dari studi observasi di Norwegia,  ia ditempatkan di Semarang. Dr. Sitanala membuat kebijakan sistem isolasi di rumah, penderita di tempatkan dalam rumah tersendiri di sekitar rumah kelurganya. 

Bersama dengan Sardjito dan Mochtar, berpendapat harus bekerjasama dengan otoritas sipil pendaftaran kusta dan untuk pendidikan kesehatan. Penderita kusta harus tinggal di rumah yang terpisah atau di sebuah gubuk di kompleks mereka sendiri, merupakan tanggungjawab keluarga termasuk untuk bantuan medis. Dalam sistem isolasi rumah ini tidak mungkin, masuk sukarela menjadi koloni pertanian harus dipertimbangkan. 


Pendidikan kesehatan harus mempromosikan pendaftaran sukarela dan isolasi. Sitanala tidak keberatan dengan peraturan ini, tapi yakin bahwa berhasilan bisa dicapai didasarkan pada tradisi dan rasa adanya hubungan keluarga dari orang ybs. Pandangan Sitanala tidak segera diterima.


Pada tahun 1938, Kongres Kusta Internasional di Kairo, direkomndasikan bahwa isolasi rumah tidak dianggap sebagai metode yang efektif. Sementara jumlah leprosaria telah meningkat menjadi 45 dengan 4500 penderita kusta yang mengaku dengan ruangan yang tidak cukup.


Pada tahun 1932 pemerintah menerima rencana Sitanala ini. Pendekatan baru, termasuk pendidikan kesehatan, pendaftaran penderita kusta, pengobatan di klinik rawat dan, jika perlu, isolasi rumah yang diperkenalkan di 6 kabupaten di bagian timur Jawa: Gersik, Blora, Lamongan, Nganjuk, Kediri dan Jombang, serta di pulau Madura. Pemerintah terkesan dengan kesederhanaan, praktis dan dapat kerjasama yang baik dan erat dengan masyarakat. Dalam survey yang dilakukan, banyak orang yang pernah mengalami kusta ditemukan secara sukarela. Para dokter Indonesia Tumbelaka, Mochtar, Soeparmo, Darwis, Koeslan, Sitanala dan Kodyat adalah orang-orang yang erat berhubungan dengan survei ini.

Saat itu 1200 dokter aktif di Indonesia (populasi 60 juta), 45% di Dinas Kesehatan Sipil, 15% di Pelayanan Medis Militer dan 40% di sektor swasta. Sepertiga dari mereka memiliki predikat 'dokter Indonesia'. Mereka memiliki pelatihan praktis di Batavia atau Surabaya merupakan nilai yang besar untuk layanan medis.

Dalam tahun tiga puluhan Semarang menjadi pusat ilmiah untuk pengendalian kusta. Banyak makalah dan jurnal medis yang diterbitkan. Pengetahuan itu diperluas ke kabupaten lain di Jawa dan daerah-daerah di luar Jawa. Pada tahun 1938, 16.000 orang kusta yang terdaftar.

Tes darah dilakukan, serta uji coba untuk menumbuhkan basil dan menularkan penyakit ke hewan. Para dokter Sardjito, Boenyamin, Malaihollo. Soetomo, Soetopo, dan Gramberg yang ahli epidemiologi di Surabaya dan Semarang, masing-masing melakukannya.

Banyak percobaan terapi dilakukan. Penderita kusta berharap untuk yang terbaik, tapi kesabaran mereka diuji. Pengobatan kusta di RS Kusta Plantoengan dengan sinar ultra violet. Percobaan terapi ini dapat menyebabkan konflik ditunjukkan dalam seperti contoh berikut.

Pasien kusta yang diobat di RS Pelantoengan dengan sinar ultraviolet.
Ahli radiologi Denis Mulder telah membangun gedung dengan lampu ultraviolet di langit-langit, di mana pengobatan radiasi diberikan kepada 50 orang menanggalkan pakaiannya pada waktu yang sama. Mulder tegas percaya pada pengobatan ini dan berpikir untuk memiliki hasil yang baik, namu gagal secara ilmiah dengan sekperimennya. Mengingat hasil negatif yang diperoleh di negara lain, pemerintah merasa skeptis dan menyalahkan Mulder untuk membangkitkan ilusi palsu. konflik itu diperparah dengan terbitnya buku 250-halaman, di mana Mulder menyerang pemerintah tidak baik:

Pada tahun 1935 Institut Pusat untuk Penelitian Kusta dibuka di Batavia. Bangunan dan persediaan dibayar oleh Ratu Wilhelmina Fund. Berikut Lame dan De Moor membuat studi tentang tikus-kusta, penyakit pada tikus disebabkan oleh basil menyerupai basil kusta manusia. Sebuah penyelidikan epidemiologis penting dilakukan oleh Dr. Boenyamin di Batavia. Pada tahun 1941, kusta di Indonesia masih merupakan penyakit dengan banyak aspek misterius.

Selama periode Dr JB Sitanala sebagai kepala Program Pengendalian Kusta Indonesia di Semarang, ia melaporkan 17.425 orang yang kusta terdaftar dengan penduduk 60.731.025 pada tahun 1939. (enkele aspecten van het voor komen van lepra di de geƫxplodeerde lepra gebieden van den Ned . Indie Archipel pintu JB Sitanala, 1939) 10.

Pada tahun 1943 selama pendudukan Jepang, kantor pusat program pengendalian kusta di Semarang dipindahkan ke Jakarta, karena itu Dr Sitanala juga pindah ke Jakarta. Dr G Rehatta ditunjuk untuk mengepalai Rumah Sakit Umum Kelet (RSU Kelet). Rumah sakit memberikan pelayanan kepada orang-orang yang menderita reaksi dan luka. Ini kemudian dikenal sebagai Rumah Sakit Kusta Kelet. Pada saat yang sama Rumah Sakit Umum baru (RSU) dibangun pada tahun 1945 di seberang jalan di seberang Rumah Sakit Kusta Kelet. Pada bulan April 1943 Dr Aminoeddin yang dilatih oleh Dr Sitanala kemudian mejadi kepala Pusat Penaggulangan Kusta  di Semarang, menggantikan Dr. Soetomo HT

Program Pengendalian Kusta pada waktu itu membantu klinik kusta didirikan di setiap Kecamatan dan di beberapa desa.

Referensi:  “The approach to the leprosy problem in the past in Indonesia” (Tropical and Geographical Medicine 1993 Vol 45 No 1 / 2-5 and other references.

KUSTA DI INDONESIA Daftar isi >>>