Thursday, January 30, 2020

Perkampungan Kusta Saparua (Waehenahea)


Inventarisasi dilakukan pada tahun 2003.

Perkampungan Kusta ini didirikan pada tahun 1950 diatas lahan 4 hektar. Menurut catatan yang ada di klinik, total pasien yang terdaftar di pemukiman adalah sbb:

1953: 59
1969: 368
1975: 388

Sejak pengobatan MDT, banyak pasien telah dinyatakan sembuh dan banyak dari mereka kembali ke kampung halaman. Tahun demi tahun jumlah penghuni berkurang dan tidak ada penerimaan pasien baru sejak tahun 1990.

Perkampungan ini sekarang dianggap sebagai sebuah desa 'normal'. Ada 8 orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) tinggal di sana. Secara administratif pemukiman benar-benar terintegrasi. Dan juga rumah-rumah pemukiman sekarang dicampur dengan rumah-rumah lain dari masyarakat. Klinik Kusta yang lama telah berubah menjadi gereja tetapi masih berfungsi juga sebagai klinik sederhana. Gereja ini digunakan oleh orang-orang dari masyarakat termasuk orang-orang yang pernah mengalami kusta. Pada saat kunjungan ada upacara Natal di gereja; penulis menyaksikan sendiri orang sedang berdoa bersama-sama, di antara mereka juga penderita kusta.

Sejak tahun 1990 OYPMK tidak mendapat sumbangan dari pemerintah lagi. Mereka sudah mandiri. Mereka mengolah tanah, menjual buah dan sayuran di pasar Saparua, mereka ada yang masih dibantu keluarganya dan kadang-kadang menerima sumbangan dari gereja.

Pelayanan medis


Di pemukiman ada sebuah klinik sederhana yang juga berfungsi sebagai gereja.
Tidak ada staf kesehatan permanen di sana, tetapi seorang paramedis petugas kusta dari Puskesmas terdekat datang untuk menjalankan klinik dua kali seminggu.

Riwayat hidup

2 OYPMK diwawanicarai, berikut ini adalah riwayat singkat hidup mereka.

OYPMK-1, 
Pria berusia 62 tahun

Saya lahir di Ambon, pada tahun 1942. Ketika saya berusia 20 tahun saya jatuh sakit dengan bercak merah tebal di kulit wajah dan telinga saya. Saya tahu bahwa bercak itu adalah gejala kusta. Orang tua dan tetangga saya juga tahu tanda-tanda penyakit kusta karena kami telah menerima informasi dari petugas kesehatan pada waktu penyluhan kesehtan di desa. Saya sangat sedih dan pergi ke Klinik Kusta Benteng di Ambon untuk konsultasi. Dokter menegaskan bahwa saya menderita penyakit kusta dan memberi saya DDS tablet untuk pengobatan rawat jalan. Saya mengambil DDS teratur selama satu tahun. Pada suatu hari saya mendapat reaksi, kondisi saya menjadi lebih buruk dan jari-jari saya menjadi bengkok dan kaku (kiting). Saya punya teman yang juga sakit kusta, ia tinggal di pemukiman Saparua. Dia menyarankan saya untuk bergabung dengannya di Saparua. Saya setuju dan pindah ke sana pada tahun 1964. Saya diterima tanpa syarat apapun. Semua fasilitas termasuk obat yang diberikan secara gratis. Di sini saya diberi tablet prednison selain DDS. Setelah beberapa bulan kondisi saya menjadi lebih baik dan stabil. Saya terus mengambil DDS seperti yang diperintahkan oleh dokter. Setelah beberapa tahun saya merasa bahwa saya telah sembuh dan kemudian saya menikah dengan seorang wanita mantan kusta pada tahun 1980. Kami diberi sebuah rumah dan sebidang tanah di pemukiman. Kami memiliki 3 anak sehat, satu meninggal di Ambon.

Saya ingat bahwa selama periode 1964 - 1980, banyak pasien dirawat di rumah sakit Saparua, sekitar 300 orang. Pada waktu itu pemerintah setempat menginstruksikan semua penderita kusta untuk tinggal di pemukiman Saparua. Mayoritas penduduk dipindahkan di dari pemukiman Hatuhalani Molana di P. Molana). Menurut kebijakan pemerintah daerah, pemukiman Hatuhalani harus ditutup dan semua penduduk dipindahkan ke pemukiman Saparua (Waehenahea). Karena pemerintah menghentikan bantuan, banyak orang kembali ke kota asal mereka dan sangat sedikit pasien baru datang untuk dirawat. Beberapa orang meninggal dari tahun ke tahuan, maka jumlah penghuni pemukiman menjadi kurang. Sekarang hanya tinggal  8 orang OYPMK.

OYPMK-2, 
Wanita berusia 70 tahun

Ketika saya berumur 25 tahun, ada timbul penebalan dan kemerahan di kulit. Suami saya mengatakan saya kena kusta dan dia menyuruh saya pergi ke Puskesmas untuk konsultasi. Saya didiagnosis kusta dan diberi pengobatan. Suami saya takut kusta, saya diceraikan langsung. Dia tinggalka saya sendirian. Dua anak kami tinggal bersama suami saya. Pada tahun 1966 saya melaporkan ke petugas kusta dengan militer tetapi saya dipaksa untuk pergi ke rumah sakit kusta Saparua. Ada sekitar 250 orang yang tinggal di pemukiman Saparua pada waktu itu. Semua orang diperlakukan sama, tidak ada pembayaran, diberikan makanan dan pakaian secara geratis oleh pemerintah.

Pada tahun 1980 semua sumbangan dari pemerintah berhenti. Setelah itu hanya beberapa orang yang tetap tinggal, banyak kembali ke keluarga mereka. Saya  tinggal sendirian di sini, saya tidak bisa bekerja lagi karena saya sudah tua. Saya  bergantung pada orang lain. Terima kasih Tuhan, saya masih mendapatkan bantuan kadang-kadang dari kerabat saya, gereja dan yayasan Belanda.

KUSTA DI INDONESIA Daftar isi >>>