Tuesday, January 28, 2020

Perkampungan Kusta Jongaya, Makassar

Foto diambil dari Internet (2016)


Informasi umum (2003)     

Pemukiman Jongaya terletak di dalam kota, berbatasan dengan Rumah Sakit Haji, sudah berbaur dengan masyarakat sekitar. Waktu didirikan pada tahun 1936, lokasi ini masih terpencil dipinggiran Makassar, tempat pembuangan sampah dan lokasi penjara. Tanah itu disumbangkan oleh beberapa anggota bangsawan lokal Gowa (Karaeng Bontobiraeng) ke Yayasan Kusta untuk Perawatan Kusta. Pada awalnya, wilayah itu terdiri dari pemukiman dengan 25 rumah-rumah kayu, dibangun oleh Yayasan Kusta Belanda,  bangsal perawatan yang kemudian menjadi Rumah Sakit Kusta (1960-an) di sekitar pemukiman. Pada tahun 1980/1981 itu diserahkan kepada Pemerintah Pusat Indonesia. Perkembangan selanjutnya, RSK yang sudah dibangun lengkap, akan tetapi ditutup pada awal 1990-an. Pada tahun 1992 dilokasi RSK dibangun Rumah Sakit Haji.

Luas lahan pemukiman ada sekitar 7 hektar. Pada waktu kunjungan (2003), penghuni terdiri dari sekitar 478 kepala keluarga (kebanyakan istri dan suami keduanya mantan penderita kusta, ada beberapa pasangan dengan orang non-kusta, anak-anak mereka baik dari pasangan mantan kusta dan campuran, adalah sehat. Total penghuni keseluruhan ada 1774 orang, dimana sekitar 60% adalah mantan kusta. Semua penderita kusta sudah mendapat MDT dan sudah dinyatakan sembuh (RFT). Beberapa anak mereka menikah dengan orang sehat dari luar perkampungan (namun kadang-kadang tidak disetujui oleh orang tua di luar perkampungan)

Perkampungan Kusta Jongaya berada di bawah provinsi Sulawesi Selatan. Namun masih ada beda pendapat tentang kepemilikan. Sebagian penduduk merasa bahwa menurut sejarahnya Gowa (Karaeng Bontobiraeng) yang menyumbangkan tanah kepada mereka pada tahun 1936, sementara pemerintah percaya lahan telah disumbangkan ke yayasan kusta, yang kemudian menyerahkannya kepada pemerintah.

Pemerintah provinsi menyediakan 15 kg beras dan Rp25.000 untuk membeli sayuran bulanan untuk setiap penduduk yang sudah tinggal di Jongaya sebelum tahun 1992 dan jumlah mantan kusta ada sekitar 400 orang. Mereka yang pindah ke pemukiman setelah penutupan rumah sakit kusta pada tahun 1992 tidak berhak menerima donasi ini. Dibandingkan dengan pemukiman kusta kedua di Makassar, “Km 10”, yang berada di bawah administrasi kota   Makassar, sumbangan untuk Jongaya jauh lebih baik. Pada saat kunjungan ada sumbangan tambahan dari US-Aid berupa beras, minyak sayur dan makanan bayi bagi penduduk miskin di Jongaya untuk selama 6 bulan.

 Pelayanan medis        

Sebelum rumah RSK di Jongaya ditutup di awal 1990-an, pelayanan medis untuk penduduk Jongaya cukup baik. Hal ini tentu saja tidak tidak lebih baik bila dibangdingkan dengan keadaan tahun 50-an, satu-satunya pengobatan adalah suntikan mingguan untuk pasien kusta di bangsal dan pemukiman. Tidak ada dokter bertugas di bangsal; itu dijalankan hanya oleh perawat. Pada sekitar 1954 dokter pertama, Dr Go, ditugaskan, tapi dia tidak ingin menyentuh pasien, ia hanya melihat-lihat ketika memeriksa mereka. Dalam 60-an, dengan pembangunan rumah sakit kusta, pengobatan dengan Dapson dimulai. Pada tahun 70-an pengobantan dengan DDS dibawah pengawasan Dokter Belanda, Dr Rudgers. Sampai 1990-an bangsal kedua dibangun, di mana (mantan) penderita kusta diberikan perawatan kesehatan, makanan dan tempat untuk tidur. Bangunan ini masih ada dan dihuni, tapi tidak ada bantuan yang diberikan lagi karena rumah sakit kusta telah ditutup. Saat ini, pelayanan medis dilakukan oleh seorang perawat dari klinik penyakit kulit mengunjungi Jongaya seminggu sekali untuk perawatan kesehatan dasar diperkampungan Jongaya. Untuk masalah penyakit umum, penduduk biasanya pergi ke salah satu Puskesmas, di mana mereka diperlakukan dengan baik dan tidak pernah ditolak. Untuk masalah yang berkaitan dengan kusta mereka langsung pergi ke rumah sakit Daya Makassar. Berdasarkan pengalaman kurang menyenangkan dengan staf Rumah Sakit Haji, mereka tidak menggunakan RS Haji lagi, meskipun terletak hanya 50 meter dari pemukiman.

Riwayat hidup 2 orang penghuni Jongaya yang diwawanicarai

OYPMK-1
Pria berusia 67 tahun

Dari bersembunyi di hutan menjadi kepala perkampungan kusta Jongaya yang dihormati. 

Saya lahir di pegunungan Kabupaten Mamasa, Polmas. Pada tahun 1942 saya mulai sekolah dasar, tetapi pada saat itu saya sudah memiliki luka di kaki saya yang tidak pernah sembuh, bebrapa bercak putih di bahu dan punggung saya. Ibu saya menyiapkan campuran daun, kapur dan bawang merah, yang ia digosok ke bercak tsb. diperkiran bisa hilang. Meskipun saya menangis kesakitan karena diolesi kuat-kuat, bercak tidak hilang malah menjadi kemerahan.

Saya berhenti sekolah karena murid lain berbicara tentang saya dan tidak mau bermain dengan saya. Saya sendiri tidak tahu arti kata 'Kusta', yang mereka katakan kepada saya. Ketika wajah saya menjadi merah dan bengkak, orang tua saya, dipaksa oleh penduduk desa lainnya, membawa saya ke tempat di hutan gunung di mana nenek saya memiliki taman kecil. 

Aku harus menyembunyikan diri di sana dan tidak diizinkan untuk turun ke desa lagi. Saya berusia 10 tahun dan tidak memahami alasan untuk isolasi saya. Saya masih ingat betapa sedihnya saya selama itu. Saya selalu berdoa kepada Allah untuk mengakhiri penderitaan saya. Kadang-kadang saya berjalan ke desa orang tua saya di malam hari, dan saya disembunyikan, jangan sampai ada yang tahu. Saya diberi makan, kemudian pada waktu malam itu juga harus kembali ketempat perembunyian.

Ketika saya berumur 13 tahun, pada tahun 1949, sepupu saya bercerita tentang penanganan kusta di Jongaya Makassar. Saya akan lebih aman dan hidup lebih baik tinggal di Jongaya dari pada tetap bersembunyi di huta. Di Polmas pemukiman seperti itu tidak ada pada waktu itu. Jadi saya pergi ke jalan dekat laut dan menaiki sebuah mobil truk dan bersembunji enuju Makassar. Ini adalah pengalaman yang tak terlupan, bagaimana caranya untuk sampai di Makassar. Saya punya paman yang tinggal di kota, yang menulis surat kepada Kecamatan dari Jongaya untuk mendapatkan izin bagi saya untuk tinggal di RSK di Jongaya. Saya mengakui dan pindah ke sana. Pada tahun 1950-an belum ada obat yng dapat menyembuhkn kusta. Suntikan mingguan adalah satu-satunya pengobatan penduduk Jongaya. Dokter pertama yang bekerja di tempat ini pada pertengahan 50-an tidak ingin menyentuh penderita kusta. Karena mengalami luka parah, saya dirawat di bangsal sebelah pemukiman, di mana saya tinggal selama dua tahun. Setelah itu, saya diberitahu untuk tinggal di salah satu dari 25 rumah pemukiman, bersama-sama dengan delapan penderita kusta lainnya. saya tinggal di sini garatis, dan disediakan makanan. Penduduk tidak diizinkan untuk meninggalkan pemukiman sebelum pukul 3 sore, dan harus kembali pada pukul 7 malam. Saya berusia 16 tahun dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Semua penduduk harus bekerja di pagi hari untuk membersihkan lingkungan, tetapi saya senang karena bisa tidur dan makan. Kemdian saya mendapat kesempatan untuk pergi ke sekolah lagi, yang diselenggarakan oleh penderita kusta lainnya; Saya selesai enam tahun sekolah dasar.

Dalam tahun 60-an saya mulai minum obat untuk kusta, setelah 20 tahun tidak minum obat yang dapat menyembuhkan kusta. Saya mendapat berbagai jenis obat-obatan, sampai pada tahun 1992 Dr. Berbudi (Dokter dari RSK Daya) mengatakan kepada saya bahwa saya telah sembuh dan mengentikan obat kusta. Tetapi saya tetap mempunyai luka yang sulit sembuh. Saya bersyukur masih mempunyai kaki lengkap dapat berjalan dengan baik. Jari tangan saya kiting dan sudah kaku. 

Pada tahun 1980 saya menikah dengan seorang wanita dari pemukiman. Wanita ini sebelumnya sakit kusta dan diantar oleh ibunya ke Jongaya. Saya dan istri saya memiliki lima anak, yang manan tiga diantara mereka mendapat kusta. Semua lima anak kami bekerja misalnya sebagai pemulung.

Saya mulai bekerja pada tahun 1980 sebagai penjaga parkir. Saya masih melakukan pekerjaan ini di malam hari dan mendapatkan Rp10.000 per hari. Siang hari saya sibuk mengatur dan mengatur kehidupan sehari-hari penduduk Jongaya, karena sejak tahun 1990 saya terpilih menjadi kepala perkampungan. Anggota masyarakat patuh dengan saya, dan saya secara teratur saya menghadiri pertemuan kecamatan bersama-sama dengan kepala desa lingkungan sekitarnya.

Saya tidak pernah kembali ke Mamasa setelah saya di Makassar yang dulu datang bersembunyi dalam mobil truk. Saya hanya mendengar dari orang lain ketika orang tua saya meninggal. Saya tidak ingin kembali ke desa saya di pegunungan, karena saya tidak yakin apakah orang di sana akan menerima saya sekarang. Selain itu saya tidak tahu di mana anggota keluarga saya tinggal saat ini. Namun ada adik saya yang mengunjungi saya di Makassar. Adik saya tinggal dengan saya di Jongaya. Dia juga mengalami kusta empat tahun setelah saya. Dia datang berobat ke Jongya dan tidak mau bersembunyi di hutan. 

Saya senang tinggal di Jongaya bersama-sama dengan orang lain yang terkena kusta, dengan keluarga dan dalam masyarakat yang menghormati saya. Hidup di lur pemukiman saya maih merasa ada rendar diri. 

OYPMK-2
Wanita berusia 70 tahun

Menggunakan gunting tanpa jari

Saya lahir di Sumbawa. Saya tumbuh kembang dan kemudian saya bekerja sebagai guru. Pada usia 15 saya datang ke Makassar, tempat asal orang tua saya. Pada tahun 1949 saya selesai sekolah dasar dan mulai pergi ke sekolah lanjutan. Saya terpaksa berhenti sekolah saya harus mengikuti permintaan orang tua menikah. Setelah berumanh tangga dari 1949 - 1955, kami mendapapat 4 anak. Pada tahun 1955 suami saya diculik, mungkin oleh pasukan gerilya Kahar Muzzakar, yang menakutkan sekitar tahun 50-an smmpai 60-an. . Suami saya tidak pernah kembali, juga tidak ada informasi tentang dia. Selama 10 tahun berikutnya saya mencari nafkah saya dan anak-anak saya dengan melakukan menjahit. Tiga dari anak-anak saya meninggal karena sakit. Saya akhirnya pindah dari Makassar ke Limbung, sebuah desa di di kabupaten di mana orang tua saya tinggal.

Pada tahun 1962, saya pertama kali melihat wajah saya menjadi kemerahan. Saya curiga tentang itu dan pergi ke rumah sakit Jongaya, di mana aku tinggal selama enam bulan. Saya percaya saya telah kena kusta. punya kusta, ini tejadi etelah suami saya hilang. Mungkin karena saya stres terus ditambah lagi meninggalnya anak-anak kami. Di rumah sakit Jongaya saya diberi suntikan dan minum DDS, berobat jalan pulang ke Limbung. Tapi karena saya tidak teratur minum obat penyakit saya tidak sembuh-sembuh dan semakin parah. Saya kemudian dirawat di RS Jongaya. Sejak itu saya menjadi penduduk Jongay dan sudah berlangsung 20 tahun. Kaki saya harus damputasi di RSK Daya Makassar. Stekah itu saya dipindah ke perkampungan Jongaya di sekitar RSK Jongaya.

Saya sekarang tinggal di tempat pemukiman, bersama-sama dengan beberapa pasien (mantan) kusta lainnya. Pada awalnya kami menerima makanan dan obat-obatan gratis, tapi itu dihentikan segera setelah itu. Saya berhasil membeli sendiri mesin jahit, dan saya mulai melakukan menjahit lagi. Meskipun tangan saya sudah dimutilasi dan tidak satu jari yang tersisa, saya dapat menggunakan gunting dan melakukan pekerjaan saya. Saya sangat bangga dengan ini. Saya tidak akan pernah menyerah;Saya senang untuk dapat bertahan hidup dan tidak suka meratapi.

Tinggal di pemukiman ini seperti surga bagi saya. Saya tidak suka untuk mendapatkan kontak dengan dunia luar karena saya akan merasa rendah diri. Dengan kaki saya diamputasi, menggunakan kruk saya tidak bisa pergi ke semua jalan di pasar, tapi saya benar-benar tidak kecewa. .

Satu-satunya anak yang tersisa untuk saya masih tinggal di Limbung bersama-sama dengan enam cucu. Mereka semua sehat dan mengunjungi saya dari waktu ke waktu, membawa saya untuk kehihidupan sehari-hari. Mereka memahami penyakit saya dan tidak takut. Salah satu saudara saya terkena kusta, juga, dan tinggal dengan saya di Jongaya sampai dia meninggal.

Saya tidak ingin kembali ke Limbung untuk hidup dengan putri saya dan cucu, karena saya tidak bisa melakukan banyak pekerjaan dengan tangan saya lagi dan saya akan malu di depan orang lain. Hanya kalau saya mati, saya ingin dikubur di Limbung.

KUSTA DI INDONESIA Daftar isi >>>