1. RSK Lewoleba
2. Pemukiman kusta Wono Klaus
ad1. RSK Lewoleba
Penulis (Dr. Yamin Hasibuan), yg paling kiri, 2003
RSK Lewoleba, 2003
Dari tahun 1959 to1996 jumlah penderita kusta di klinik rawat jalan meningkat setiap tahun. Kadang-kadang tingkat hunian tempat tidur lebih dari 100%. Banyak pasien yang cacat dan mempunyai banyak masalah sosial. Mereka sering ditolak oleh masyarakat karena mereka takut kusta. Rumah sakit tidak bisa menyelesaikan semua masalah, karena fasilitas yang terbatas.
Pada tahun 1990, keluarga Klaus dari Austria memberikan sumbangan untuk membangun pemukiman bagi orang-orang yang pernah mengalami kusta dengan masalah sosial. Pemukiman bernama 'Wolo Klaus'.
Rumah sakit bekerja sama dengan rumah sakit umum (Bukit) terutama untuk rehabilitasi fisik. Operasi dilakukan di rumah sakit Bukit oleh dokter ahli bedah terbang dari RSK Sitanala Tangerang.
Sejak tahun 1996 tren jumlah pasien ke RSK secara bertahap menurun dari tahun ke tahun. Selama 3 tahun terakhir misalnya hanya satu pasien dirawat di rumah sakit dengan reaksi kusta. Para pasien di rumah sakit sekarang sebagian besar orang tua dengan indikasi sosial.
ad 2: Koloni kusta 'Wolo Klaus'
Perkampungan ini terletak sekitar 0,5 km dari RSK Lewoleba dibangun diatas lahan 4 hektar lahan. Pemukiman ini dibangun dengan sumbangan dari keluarga Klaus dari Austria.
Saat ini ada total 30 mantan kusta dengan 16 pasangan hidup. 16 pasangan terdiri dari 3 pasangan (suami dan istri adalah pasien mantan kusta) dan 13 pasangan (suami adalah mantan kusta dan istri yang normal). Mereka semua tidak minum MDT lagi (sudah sembuh). Total semua penghuni termasuk orang sehat adalah 186 orang dalam 62 pasangan yang sehat. Oleh karena itu proporsi mantan kusta adalah 16%. Pasangan yang sehat adalah mereka menikah antara anak yang sehat atau dengan orang-orang yang sehat dari orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) dan pasangan yang sehat berasal dari luar pemukiman. Tidak ada lagi sumbangan baik dari Pemerintah atau rumah sakit Beato Damian. Mereka semua sudah mandiri.
Layanan medis
Tidak ada fasilitas kesehatan di pemukiman. Namun penduduk dapat menggunakan fasilitas RSK Beato Damian, yang terletak hanya 0,5 km dari pemukiman.
Riwayat hidup
2 OYPMK di wawanicarai, hasilnya sepeti di bawah ini:
OYPMK-1,
wanita usia 45 tahun
Waktu berlalu, suami saya memutuskan untuk pergi ke Malaysia. Alasan mengapa suami saya meninggalkan saya jelas. Suami saya mungkin telah menyadari bahwa saya terkena kusta. Karena saya tidak mendapatkan obat secara teratur, penyakit saya menjadi lebih buruk. Suatu hari saya bertemu dengan seorang teman lama dari Lewoleba. Teman saya sangat menyarankan saya untuk kembali ke Lewoleba untuk melanjutkan pengobatan. Saya mengikuti saran dan pergi ke Lewoleba dengan anak saya itu berusia 6 tahun dan tinggal dengan teman saya untuk sementara waktu. Aku masuk RSK lagi karena mengalami reaksi. Sayangnya kemudian jari-jari saya yang cacat. Saya terus mengikuti pengobatan sampai dokter membebaskan saya dari pengobatan pada tahun 1987.
Saya keluar dari rumah sakit dan bergabung teman saya di pemukiman lagi. Anak saya sudah besar dan pindah ke Kalimantan sebagai guru. Anak saya tidak pernah menderita penyakit kusta dan sekarang sudah menikah dan memiliki anak. Tentang suami saya, tidak tahu dan tidak pernah terdengar lagi. Saya senang tinggal di pemukiman dan tidak ingin pindah ke Kalimantan untuk tinggal dengan anak saya. Tidak ada peraturan tertulis untuk mantan penderita kusta tinggal di pemukiman. Pemukiman dibangun atas sumbangan keluarga Klaus dan hanya sebagai desa harus dipimpin oleh seorang kepala desa, yang dipilih di antara semua orang yang terkena kusta. Sama halnya dengan peraturan di desa lain.
OYPMK-2,
Pria berusia 40 tahun
Saya lahir di desa Binongko di Sulawesi tenggara pada tahun 1962. Ketika saya berusia 9 tahun, saya bermain sepak bola di sekolah. Kami bermain tanpa kemeja dan karena itu mudah bagi semua orang untuk melihat kulit saya. Teman-teman saya mengatakan kepada saya bahwa saya memiliki banyak bercak seluruh tubuh saya, kemerah-merahan. Teman-teman saya menyarankan saya untuk berkonsultasi pak Tagu (paramedis di desa). Pak Tagu mengatakan saya kena kusta dan memberi saya tablet Dapson. Saya juga berkonsultasi dengan dukun, tetapi bercak-bercak tidak menghilang. Pak Tagu menyarankan agar saya tetap sekolah. Jadi saya terus sekolah sampai lulus SD.
Ketika saya berumur 16 tahun, bercak menjadi lebih aktif tapi saya tidak peduli tentang hal itu. Saya mulai bekerja sebagai pelaut dan pergi ke Singapura dan Maluku. Ketika saya di Maluku, saya bertemu dengan seorang teman lama. Dia juga seorang pasien kusta dan telah pernah dirawat di RSK Lewoleba. Dia telah sembuh. Teman saya menyarankan untuk pergi ke RSK Lewoleba. Saya setuju dan pada tahun 1979 saya masuk RS. Pada saat itu saya tidak memiliki cacat apapun. Pada tahun 1986 regimen pengobatan baru diperkenalkan. Setelah saya mendapat obat baru saya mendapat reaksi parah dan sangat sayang saya jadi cacat. Setelah minum obat baru (MDT) selama 2 tahun (1988) saya dinyatakan sembuh. Saya keluar dari rumah sakit dan diterima bekerja dengan Sr. Isabela.
Pada tahun 1990 saya pindah ke pemukiman Wolo Klaus. Dua tahun kemudian saya menikah, istri saya tidak pernah mengalami kusta. Saya senang tinggal di pemukiman dengan istri saya. Kami belum punya anak.
KUSTA DI INDONESIA Daftar isi >>>