Perkampungan Kusta Desa Serba Guna, berada di bawah RS Sitanala, memiliki lahan seluas 53 hektar. Letak disekitar RS Sitanala dan dekat dengan Bandara Soekarno Hatta . Desa ini semula berfungsi sebagai tempat transit pasien kusta yang sudah sembuh, keluar dari rawat inap, tetapi ada masalah sosial misalnya, tidak mau pulang kerumah tempat asalnya. Mereka tidak diterima keluarga dan ditolak oleh masyarakat kerena tingginya leprofobia (takut kusta berlbihan) dan stigma. Selama mereka tinggal di Desa Serba Guna, RS mepersiapkan mereka untuk pemasyarakatan melalui penyuluhan dan keterampilan kerja. Suatu kenyataan, sangat sulit memulangkan mereka, sehingga desa Serba Guna tahun demi tahun menjadi desa penghuni padat dengan berbagai permasalahan. Oleh karena itu Pemerintah (RS Sitanala) harus mencarai jalan keluar. Maka salah satu solusi ialah RS harus penerapkan Rehabilitasi Paripurna sampai memindahkan mereka dengan program pemukiman kembali. Bekerja sama dengan Departemen Sosial dan Depdari, dua desa pemukiman kembali telah didirikan yaitu Margo Mulyo-1 di Mariana, Palembang Sumsel dan Margomulyo-2 di Leuwidamar, Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Margo Mulya-1 telah ditulis dalam episode sebelum ini.
Pada waktu inventarisasi (2003), total penghuni Desa Serba Guna adalah 2.818 terdiri dari 885 mantan kusta dan 1.933 orang sehat. Oleh karena itu proporsi pasien mantan kusta adalah 31%.
Desa Serba Guna secara adminstratif sama diperlakukan dengan desa lain di kab Tangerang, memiliki kantor desa dengan perangkatnya, memiliki Sekolah Dasar, posyandu dll.
Dilakukan wawanicara terhadap 2 mantan kusta, bagaimana riwayat mereka sampai menjadi penghuni Serba Guna. Di bawah ini adalah hasil wawanicara.
Mantan kusta-1
Wanita berusia 50 tahun
Saya dilahirkan di Bagan Siapiapi. Ketika saya berumur 15 tahun, saya melihat beberapa bercak seperti panu pada tubuh saya, tapi saya tidak peduli tentang hal itu. Setelah beberapa tahun saya jatuh sakit dan jari-jari saya menjadi kiting. Tetangga saya juga memperhatikan apa yang terjadi pada saya. Mereka tahu bahwa saya sakit kusta, namun menurut mereka tidak ada pengobatan untuk penyakit kusta. Orang tua saya membawa saya ke RSU Bagan Siapiapi. Dokter Rumah Sakit mengatakan bahwa penyakit saya bisa diobati dan jari-jari kiting bisa dioperasi di RS Kusta Sitanala Tangerang. Pada tahun 1979 saya dirawat di RS Sitanala tanpa persyaratan apapun. Obat-obatan dan fasilitas diberikan secara gratis. Saya tinggal di RS 1979-1984 dan jari-jari tangan saya telah dioperasi. Saya tidak mau kembali kekampung saya, karena masyarat menolak kehadiran saya. Pada tahun 1984 saya harus pindahkan ke Desa Serba Guna di sini. Satu tahun kemudian saya menikah dengan seorang pria yang pernah mengalami kusta di Desa Serba Guna. Kami senang tinggal di sini. Kami tidak terpilih ikut program pemukiman kembali.
Mantan kusta-2
Usia 63 tahun
Saya lahir di Malang, provinsi Jawa Timur pada tahun 1939. Saya menikah pada tahun 1960 di Malang dan kami memiliki satu anak. Pada tahun 1970 saya pergi keJakarta mencari pekerjaan dan dapat pekerjaan. Suatu hari saya melihat bahwa beberapa bercak muncul di muka saya. Say pergi periksakan ke dokter di Jakarta. Dokter memeriksa test bercak-bercak, dan dijelaskan bahwa bercak-bercak itu kurang merasa sampai mati rasa. Dokter mendiagnosis saya kena kusta. Saya dikirim ke RS Cipto Mangun Kusumo Jakarta. Di sini saya menerima pengobatan: DDS (1971). Ketika saya didiagnosis kusta, saya memutuskan untuk tidak memberitahu istri saya, anak dan kerabat.
Setelah beberapa bulan saya mengalami reaksi ksta. Dokter dari RS Cipto Mangun Kusumo kemudian mengirim saya ke RSK Sitanala, dan saya diterima tanpa membayar. Sayangnya pengobatan tidak bisa mencegah jari-jari saya menjadi kiting.
Pada tahun 1985 saya mendapat obat baru (MDT), dan setelah itu saya dinyatakan sembuh. Saya tidak ingin pergi ke mana-mana lagi, karena saya dirawat di rumah sakit Sitanala dan saya sudah menjadi penduduk tetap.
Pada tahun 1989 saya dipindahkan ke Desa Serba Guna. Saya menerima paket ransum dari pemerintah setiap bulan, yang terdiri dari: 10 kg beras, 1 l minyak goreng, 2 kaleng sarden, 1 kg ikan kering asin, gula pasir 1 kg, 10 telur dan 12 paket supermi (mie). Ketika ekonomi krisis melanda Indonesia donasi dikurangi menjadi beras 10 kg, 1 kg gula dan 10 bungkus mie. Pada tahun 2000 sumbangan dari pemerintah berhenti sama sekali.
Saat ini saya bekerja sebagai koordinator cleaning service di RS Sitanala. Saya hidup dengan gaji yang sangat minimal dari Sitanala, tapi saya senang tinggal di sini.
KUSTA DI INDONESIA Daftar isi >>>