Tuesday, January 28, 2020

Perkampungan Kusta Totinco-Amassangeng, Sulsel

Posyandu Totinco, 2003

Informasi umum

Perkampungan Kusta Amassangeng didirikan selama pendudukan Belanda di Indonesia. Menurut catatan tahun 1984, ada sekitar 225 orang terkena kusta (OYPMK) tinggal dipemukiman. Pada saat itu pemerintah kabupaten Wajo memutuskan untuk menggunakan lokasi pemukiman untuk membangun RSU Kabupaten yang baru. Sebagai kompensasi, dibanguan pemukiman kusta di Totinco di Kecamatan Tana Sitolo. Semua OYPMK di Amassangeng dipindahkan ke pemukiman Totinco baru. Sejak tahun 1985, pemukiman kusta Amassangeng tidak ada lagi, telah berganti dengan RSU Daerah dengan nama RSUD Lamadukelleng.

Perkampungan Kusta Totinco adalah milik Pemerintah / Departemen Sosial kabupaten Wajo. Koloni ini mempunyai 4 hektar lahan, terletak sekitar 3 km dari Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo, dan sekitar 245 km dari Makassar.
Pada saat kunjungan (2003), ada 237 orang tinggal di pemukiman, dimana 96 orang adalah OYPMK. Mereka semua sudah RFT (sembuh).
Secara umum, OYPMK yang tinggal di pemukiman sudah mandiri. Rumah-rumah dan lahan masih merupakan milik Pemerintah. Mereka tidak mendapat subsidi rutin lagi, tapi kadang-kadang mendapat sumbangan beras, mie pada hari khusus. Kondisi kompleks dan rumah-rumah yang mirip dengan yang ada di masyarakat sekitar. Tidak ada papan nama yang menunjukkan adanya pemukiman kusta.

Layanan medis

Pemukiman tidak memiliki klinik khusus untuk kusta, tapi ada pos kesehatan (Posyandu). Penduduk juga dapat menggunakan Puskesmas yang terletak hanya sekitar 700 m dari pemukiman.

Wawanicara terhadap 2 OYPMK tentang riwayat hidup mereka.

OYPMK-1
Peria umur 42 tahun

Saya lahir pada tahun 1960 di Watan Liplic, Kecamatan Tempe di Kabupaten Wajo. Suatu hari, ketika saya berada di tahun pertama saya sekolah dasar, para pekerja kesehatan dari kabupaten datang untuk pemeriksaan kesehatan semua siswa. Saat itu saya berusia 10 tahun. Para pekerja kesehatan menemukan beberapa bercak di tubuh saya. Mereka melakukan tes rasa bercak-bercak, saya tidak merasakan apa-apa (mati rasa). Para petugas kesehatan mengatakan bahwa saya kena kusta. Mereka membahas masalah ini dengan guru saya. Saya tidak mengerti apa yang terjadi, tapi guru saya merasa prihatin tentang penyakit saya. Mereka meminta orang tua saya untuk datang ke sekolah. Orang tua saya kemudian diceritakan bahwa saya kena kusta. Para guru terkejut dan perhatian serius apa yang telah terjadi.

Saya takut reaksi guru dan teman-teman. Saya tidak mendapatkan pengotan dari petugas kesehatan, maka orang tua saya membawa saya ke dukun. Guru dan teman-teman sangat takut ketularan, maka mereka mau mengisolasi saya. Mereka tidak bisa mentolerir kehadiran saya di sekolah lagi ketika gejala penyakit saya menjadi lebih jelas; bercak merah muncul di wajah dan tangan saya. Saya putuskan saya harus berhenti sekolah, pada waktu itu saya baru tahun ke 3 SD.

Ketika saya sudah berumur 18 tahun, penyakit saya menjadi lebih buruk. Orang tua saya kemudian mengirim saya ke RSK Amassangeng Kusta di Wajo. Saya diterima dan mendapat pengobatan dengan dengan DDS. Pemerintah memberikan biaya gratis bagi pasien penyakit kusta. Kondisi saya memburuk lagi, jari-jari saya menjadi cacat. Kadang-kadang saya diberi prednison ketika saya masih dalam reaksi. Pada tahun 1982, saya mendapat obat tambahan MDT (DDS, Rifampisin dan Lamprene). Kondisi saya kemudian menjadi stabil,

Pada tahun 1985, saya dipindahkan ke Settlement Totinco bersama-sama dengan penderita kusta lainnya, mengikuti program pemukiman kembali pemerintah. Satu tahun kemudian, saya menikahi seorang wanita OYPMK. Sampai saat ini kami belum punya anak. Saya dan istri saya bekerja di sebuah pabrik batu bata di dekat kompleks. Meskipun tidak ada sumbangan yang biasa bagi kita, kami lebih memilih untuk tinggal di Pemukiman Totinco. Kami tidak ingin kembali ke rumah, kami tidak memiliki kerabat di sana yang mau menerima kami.


OYPMK-2
Wanita umur 45 tahun

Saya lahir di Bone pada tahun 1957. Ketika saya berumur 21 tahun, saya melihat ada bercak merah di seluruh kulit saya. Segera saya tahu bahwa saya sakit kusta. Orang-orang di sekitar saya takut dan saya diminta untuk meninggalkan desa. Orang tua saya terkejut dan juga terisolasi oleh masyarakat. Saya stres dan kondisi saya menjadi lebih buruk. Orang tua saya kemudian membawa saya ke RSK Amassangeng Wajo. Saya dirawat di rumah sakit pada tahun 1980. Saya mengalami reaksi kusta berulang kali, yang menyebabkan jari-jari saya cacat. Saya menikah dengan seorang pria OYPMK dari desa yang sama di Bone. Kami memiliki 4 anak yang sehat. Pada tahun 1966 kami dipindah ke Totinco, mengikuti program Pemerintah. Suami saya dan saya bekerja di sebuah pabrik batu bata di dekat perumahan Totinco.
KUSTA DI INDONESIA Daftar isi >>>