Informasi umum
Dalam catatan arsip di Subdit Kusta, Lauleng digrupkan dalam Leprosaria, atau Perkampungan Kusta. Kenyataannya, terdiri dari RSK Lauleng dan Perkampungan Kusta di sekitarnya. RSK Lauleng didirikan pada tahun 1940 pada masa pendudukan Belanda di Indonesia. Lokasinya sekitar 6 km dari Parepare, ibukota kabupaten Parepare, dan sekitar 156 km dari Makassar.
1940 -1942: Dr. Venstra, seorang dokter Belanda, adalah direktur pertama dari rumah sakit Lauleng, dibantu Perawat Indonesia dari Sulawesi.
1957 - 1958: Dr. A. Spentjes, seorang dokter Indonesia, direktur RSU Parepare, merangkap RS Fatimah (swasta) dan RSK Lauleng.
1958 - 1965: Dr. J.de Baets, seorang dokter Belgia, menggantikan Dr. A. Spentjes.
1967 - 1981: Dr. J.Barthen, seorang dokter misi, diangkat menjadi direktur RSK Lauleng.
Pada tahun 1979, HM Joesoef Madjid, Walikota Parepare, dan istrinya Ida Joesoef berhasil meningkatkan kesejahteraan penderita kusta di RSK Lauleng.
Pada tahun 1981 Ibu Joesoef dihormati sebagai 'Ibu Kusta'.
1979 - 1980: Dr Berbudi, direktur RSK Sitanala, bekerja sebagai dokter terbang bedah kusta untuk RSK Lauleng.
RSK termasuk pemukiman sekitarnya adalah milik Pemerintah Kabupaten Parepare / Departemen Kesehatan. Pemukiman ini mempunyai penduduk 436 orang dimana 102 adalah orang-orang yang terkena kusta, 12 penduduk lanjut usia tinggal di bangsal.
Pada waktu kunjungan ada 12 pasien baru yang masih di MDT, dan 12 lansia tsb di atas adalah OYPMK tinggal dibangsal. Kondisi bangsal yang mirip dengan 'Panti Jompo' (rumah orang tua). Bangsal dengan kapasitas 24 tempat tidur mereka tidak terlihat seperti bangsal normal, tetapi lebih seperti rumah.
OYPMK di pemukiman pada umumnya berasal dari kabupaten Pinrang, Sidrap, Barru dan Enrekang. Rumah sakit kusta bekerjasama dengan kabupaten tersebut dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Kabupaten dapat mengirim penderita kusta ke perkampungan kusta, tetapi kabupaten harus memberi bantuan biaya hidup mereka.
2. Kabupaten harus menerima penderita kusta yang dikirim kembali oleh rumah sakit.
3. Kabupaten dapat mengisi tempat kosong orang-orang yang kembali ke rumah atau orang yang telah meninggal dengan orang-orang lain yang terkena kusta dari kabupaten yang sama.
4. Tanah dan rumah masih milik pemerintah dan Gereja Katolik Fatima.
Layanan medis
Rawat Jalan (OPD) dilayani oleh 6 paramedis di bawah pengawasan Dr Gemma, yang juga bekerja di rumah sakit.
Rawat Inap (IPD) mempunyai 24 tempat tidur. Bangsal (rumah jompo) digunakan untuk lansia.
Rumah sakit tidak dapat memproduksi prostesis, tetapi mereka dapat membuat sepatu khusus penderita kusta. Seorang anggota staf telah dilatih mendapat latihan membuat sepatu khusus di RSK Daya Makassar.
Riwat hidup
2 orang OYPMK diwawanicarai tentang riwayat hidup mereka.
OYPMK-1
Laki-laki umur 47 tahun
Saya lahir 1955 di Rijang Panua, Pancarijing, di Kabupaten Sidrap. Ketika saya masih 19, saya melihat bercak putih muncul pada kulit dada dan anggota badan saya, tapi tidak terasa gatal dan tidak sakit. Saya berobat ke dukun. Dukun memberi obat tradisional dengan daun sirih dan labu untuk digosokkan ke bercak-bercak. Dukun mengatakan saya sakit 'Kandala' [bahasa lokal untuk kusta]. Saya tidak yakin, tapi saya tetap melanjutkan pengobatan dari dukun tsb.
Kondisi saya semakin memburuk, saya merasakan sakit terutama di sendi saya, dan panas. Saya pergi ke dokter. Dokter juga mendiagnosis saya kena kusta dan menyarankan supaya saya berobat di RSK Lauleng di Parepare untuk segera mendapat perawatan. Dokter tidak memberi saya obat, tapi hanya memberi surat pengantar untuk masuk RSK Lauleng. Saya masuk RS pada tahun 1986, dirawat secara gratis. Saya hanya harus mengikuti beberapa prosedur administrasi.
Identitas saya dicatat, menurut rumah sakit, catatan ini dilaporkan ke Bupati dan rumah saya Sidrap. Saya diberitahu bahwa seluruh biaya untuk saya ditanggung oleh Kabupaten Sidrap.
Pada saat masuk ke rumah sakit, orang tua dan saudara-saudara saya menemani saya. Tiga bulan kemudian orang tua saya datang lagi untuk mengunjungi saya. Mereka sangat terkejut melihat jari-jari saya yang sudah cacat (kiting). Tampaknya mereka menjadi takut pada saya. Setelah kunjungan ini, baik orang tua saya maupun saudara-saudara saya tidak pernah datang lagi menemui. Saya merasa sangat sedih, terisolasi oleh masyarakat. Kondisi penyakit saya sudah stabil, tetapi saya mempunyai cacat jari-jari permanen. Saya tidak ingin kembali, kondisi saya membuat saya merasa rendah diri. Saya tahu bahwa orang-orang di kampung saya akan menolak saya. Sejak masuk RSK Lauleng saya tidak pernah pulang ke rumah. Saya memutuskan untuk hidup sendiri tidak mempunyai keluarga dan kerabat. Saya senang tinggal di sini; Saya tukang kayu dan bisa menghasilkan uang. Orang-orang di masyarakat sekitar memberikan saya pekerjaan misalnya membuat lemari, meja dan kotak TV. Saya menikah dengan seorang OYPMK yang sama-sama tinggal di perkampungan,tapi sampai sekarang kami tidak memiliki anak. Saya tidak punya rencana untuk kembali ke rumah. Saya lebih memilih untuk tinggal di sini sampai aku mati.
OYPMK-2
Perempuan umur 41 tahun
Saya lahir di Sidrap pada tahun 1962. Ketika saya berumur 10 tahun, orang tua dan kerabat saya mengatakan saya kena kusta. Orang tua saya memperhatikan bahwa banyak bercak-bercak di tangan dan tubuh.Orang tua saya membawa saya ke RSU Sidrap. Dokter di rumah sakit menyarankan orang tua saya mengirim saya ke RSK Lauleng di Parepare. Juga orang-orang di desa saya bersikeras supaya saya segera meninggalkan kampung. Kepala Desa membuat surat pengatar ke RSK Lauleng. Pemerintah Sidrap menyediakan beras untuk keperluan saya dan supaya diberikan ke RS Lauleng.
Saya dirawat di rumah sakit pada tahun 1972. Saya tidak membayar untuk rawat inap, tapi saya tahu bahwa pemerintah Sidrap membayar untuk keperluan biaya hidup saya.
Saya mendapat pengobata dengan DDS. Setelah sekitar satu tahun saya mendapat reaksi kusta. jari saya menjadi cacat. Saya sangat sedih melihat jari jelek. Kondisi sakit saya sudah stabil, tetapi tetap mempunyai jari-jari yang cacat (kiting).
Aku dibesarkan di rumah sakit; dari waktu ke waktu orang tua saya datang menemui saya. Mereka tidak ingin saya datang kembali ke rumah, karena mereka merasa malu bahwa saya seorang penderita kusta. Saya sendiri tidak ingin kembali. Saya lebih memilih untuk tinggal di perkampungan Lauleng, hidup di antara pasien kusta dengan nasib yang sama.
Pada tahun 1982 saya menerima pengobatan baru, MDT. Saya harus minum obat ini selama 2 tahun. Pada tahun 1983 saya menikah dengan seorang pria OYPMK, yang sma-sama tinggal di RS. Kami sama-sama datang dari daerah yang sama yaitu Sidrap. Kami mendapat sebuah rumah di komplek yang disediakan oleh rumah sakit. Sampai sekarang kami belum punya anak. Hubungan kami dengan orang-orang di masyarakat sekitar baik. Kami senang tinggal di sini dan kami tidak ingin kembali ke kampung halaman kami.
KUSTA DI INDONESIA Daftar isi >>>